ARSEKAMPUNGKU : ****pelebaran jalan di titik jembatan aek arse ke tpu arse jae dolok dalam tahap akhir****musim penghujan masih berlangsung****halaman kantor camat dijadikan tempat nongkrong anak muda**** lubang dijalan depan kantor canat Arse makin menganga****banyak yang hamil sebelum nikah pertanda moral anak muda kecamatan Arse merosot**** di arse jaringan internet sangat lambat****harga kolang-kaling di prediksi tertinggi dalam 10 tahun terakhir **** .

ARSE

BATUHORPAK JAE, BATURHORPAK JULU,BUNGA BONDAR X, JONGGOL JAE,JONGGOL JULU. ARSE JULU. LUMBAN LOBU. PAGARAN PISANG. GUNUNG TUA ARSE. GUNUNG MANAON. NABONGGAL. TANJUNG. NAPOMPAR. ARSE JAE DOLOK .HANOPAN. HUTA PADANG. PAGARAN TULASON. BAHAP. HUTA TONGA. UJUNG PADANG. AEK TOROP. RONCITAN. LOBU SIANTAR. LANCAT JAE. LANCAT JULU. BATU LONGGOM. SIPOGU

Rabu, 25 Mei 2011

PANE keturunan NAIRASAON



Nai Rasaon

Nama (gelar) putra kedua dari Tuan Sorimangaraja, lahir dari istri kedua tuan Sorimangaraja yang bernama Nai Rasaon. Nama sebenarnya ialah Raja Mangarerak, tetapi hingga sekarang semua keturunan Raja Mangarerak lebih sering dinamai orang Nai Rasaon.

Raja Mangarerak mempunyai dua orang putra, yaitu Raja Mardopang dan Raja Mangatur. Ada empat marga pokok dari keturunan Raja Mangarerak:

  • Raja Mardopang Menurut nama ketiga putranya, lahir marga-marga Sitorus, Sirait, dan Butar-butar. MARGA PANE ADALAH CABANG MARGA SITORUS
  • Raja Mangatur Menurut nama putranya, Toga Manurung, lahir marga Manurung.


(sumber: Sejarah Batak, oleh Nalom Siahaan, 1964)

TIGA GELOMBANG MASUKNYA ISLAM KE TAPANULI



Melalui Barus
----------------

Gelombang pertama masuknya Islam ke Sumut berlangsung sebelum dinasti Sisingamangaraja dimulai pada sekitar pertengahan tahun 1500-an.

Dugaan paling kuat tentang awal masuknya Islam ke Sumut, adalah melalui transit pelayaran antara India atau Persia di sebelah barat dengan Tiongkok di bagian timur. Seperti dinyatakan Ridwan, pelaut-pelaut itu singgah di Barus dalam urusan pribadi, untuk berdagang, bukan penyebaran agama.

Bandar Barus, kini di Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, sekitar 280 kilometer dari Medan, waktu itu termasuk tempat persinggahan terbesar di pantai barat Sumatera. Pedagang Gujarat dan Parsia selalu singgah di sini sebelum melanjutkan pelayaran.

Salah satu bukti atau petunjuk tentang mula masuknya Islam masih bisa dijumpai hingga sekarang, berupa makam Islam tua di 11 lokasi. Misalnya komplek makam Syeh Machmudsyah di Bukit Papan Tinggi, dan makam Syeh Rukunuddin di Bukit Mahligai di Desa Aek Dakka. Keduanya wafat pada tahun 440 dan 480 Hijriah. Angka itu diperoleh setelah menafsirkan tulisan pada nisannya.

Menurut penelitian Hasan Muarif Ambary dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1978 hingga 1980 dan diulangi pada tahun 1995, di dua komplek makam kuno itu terdapat lebih dari 100 kuburan. Makam tertua di komplek itu adalah makam Tuhar Amisuri. Wafat tahun 602 Hijriah atau 1212 Masehi. Makam tersebut 94 tahun lebih tua dibanding makam Sultan Malikul Shaleh di Mounasah Beringin, Kutakarang, Aceh.

Dengan bukti baru itu, Hasan yang juga guru besar di Fakultas Adab, Institut Agama Islam Negeri Jakarta dan Ketua Dewan Kurator Bayt Al Qur’an dan Museum Istiqlal, Jakarta, menduga bahwa komunitas Islam lebih dulu terbentuk di Barus, daripada di Aceh. Namun karena tak ada bukti-bukti sejarah lebih kuat, tidak bisa disimpulkan bahwa Barus yang masuk dalam wilayah Tapanuli, merupakan kota Islam pertama di Nusantara.

Kesimpulan sementara bahwa Islam masuk pertama sekali melalui Barus cukup beralasan. Berita tentang Kerajaan Islam di Aceh baru diketahui setelah seorang penjelajah dunia Marcopolo menulis, dia sempat singgah di Kerajaan Samudera Pasai tahun 692 H atau tahun 1292 M. Di sana Marcopolo menemui banyak orang Arab menyebarkan Islam.

Catatan lain bersumber dari Ibnu Battuthah, seorang pengembara Muslim dari Maroko yang wafat tahun 1377. Ia singgah di Samudera Pasai tahun 746 H atau tahun 1345 M. Raja waktu itu Malik Al-Dzahir II (1326-1348 M), seorang yang kuat berpegang pada agama Islam dalam aliran Mazhab Syafi’i. Menurutnya Pasai telah menerima Islam dalam jangka masa satu abad sebelum kedatangannya.

Samudera Pasai memang bukan kerajaan Islam pertama di Aceh. Ia adalah kerajaan kedua setelah Peureulak (Perlak) yang berdiri pada hari Selasa, 1 Muharram 225 H dengan raja pertamanya Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah. Bahkan Perlak juga jadi kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Setelah itu baru muncul Samudera Pasai, Kerajaan Aceh Darussalam dan kerajaan-kerajaan bercorak Islam lainnya di Indonesia seperti Malaka, Demak, Cirebon serta Ternate.

Namun pengembangan Islam di Aceh sangat berhubungan erat dengan raja pertama Samudera Pasai Sultan Malikul Saleh (1276-1297 M). Sultan Malik Al – Salih atau biasa disebut Malikul Saleh, nama aslinya Marah Silu sebelum disyahadatkan Sheikh Ismail dari Makkah dan mendapat gelar Al Marhum Paduka Said Samudera setelah meninggal dunia.

Dengan demikian, makam-makam di Barus lebih tua umurnya dibanding masa berdiri kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Bahkan jauh lebih tua dibanding makam Fathimah binti Maimun di Gresik, Jawa Timur. Sebelumnya makam ini dianggap peninggalan Islam tertua di Indonesia karena pada nisan makam wanita asal Arab ini, tertulis angka tahun 475 H/1082 M, atau pada zaman Kerajaan Singasari.


Masih Dangkal
-----------------

Walau Islam pertama sekali masuk melalui Tapanuli, namun karena ketiadaan pendakwah secara khusus itu, maka Islam diterima dengan dangkal serta masih dicampuri dengan mistik karena adat budaya lokal masa itu adalah animisme.

Masa persinggahan pedagang Arab itu ternyata tidak cukup lama untuk menanamkan ajaran Islam secara utuh. Sesudah kedatangan bangsa Portugis ke Nusantara sekitar abad ke 15, maka para pelaut pedagang Islam itu menghilang karena selalu mendapat serangan dari pelaut Portugis. Pusat perdagangan pun sudah berpindah ke Selat Malaka. Akibatnya Barus hilang dalam peta pelayaran internasional.

Namun kedatangan sementara pedagang Muslim itu telah menyebabkan pembauran budaya. Sebagian orang Batak di wilayah Barus mulai mengadaptasi Islam. Mereka yang beragama Islam karena proses pernikahan antara para pedagang Persia dengan penduduk lokal, dengan sendirinya menyisakan corak Islam, walau ajaran Islam belum diterima secara sempurna.

Menurut Ridwan, proses masuknya Islam ke Barus itu lebih menekankan pada hal bersifat tauhid, menekankan pada aspek pembentukan keyakinan.

“Ternyata perkembangan Islam melalui Barus tidak terlalu ekspansif. Mungkin ada persoalan perbedaan kultur, budaya. Kedua mungkin perbedaan ras, mungkin orang Arab itu berkulit putih, sedangkan Batak berkulit hitam. Kemudian ada tantangan dari kepercayaan lokal yang menganut animisme dan dinamisme. Karena itu Islam hanya beredar di situ saja tidak melebar lebih jauh,” tukas Ridwan.

Ditamsilkan Ridwan, sebenarnya hampir semua sejarah dunia, kalau pendakwah berpindah tempat, biasanya Islam itu akan tersebar di tempat kepindahannya itu. Karena Islam mudah masuk dalam ke semua masyarakat.

“Lihat saja di Indonesia. Islam tidak dikembangkan dengan ekspansi, tetapi kok bisa menyebar seperti sekarang ini?” katanya.


Gelombang Kedua Melalui Aceh
-------------------------------------

Pedagang Parsia yang singgah di Barus, diyakini merupakan suatu kafilah dengan tujuan utama daratan Tiongkok (China). Selain di Barus, sebagian di antara mereka juga mendarat di Aceh. Diduga kuat, di sini proses penyebaran lebih serius. Terbukti Kerajaan Samudera Pasai kemudian berdiri dan menjadi kerajaan Islam pertama di Nusantara.

Sejarah mencatat, Aceh menjadi kerajaan kuat. Sempat berkuasa hingga ke Bengkulu, Malaka dan termasuk Minangkabau. Di Minangkabau, kekuasaan Aceh terutama di kawasan pesisir barat, seperti Tiku, Padang, Salido, Indrapura serta Pariaman.

Aceh pernah mengangkat seorang sultannya di Pariaman, Sulthan Mughal, cucu dari Sultan Aceh Ali Mughayat Syah. Pada tahun 1576 dia dijeput ke Pariaman dan dilantik menjadi Sultan Aceh dengan gelar Sultan Seri Alam. Kekuasaan Aceh berakhir tahun 1663, seiring dengan masuknya kongsi dagang Belanda, VOC (Verenigde Oostindische Compagnie).

Aceh juga tercatat pernah menaklukkan Kerajaan Aru atau Haru, Kota Medan sekarang, pada bulan Januari dan Nopember 1539. Penyerangan itu akhirnya membuat sebagian besar penduduk Haru masuk Islam. Haru lantas menjadi kerajaan Islam pertama di wilayah Sumut sekarang.

Islam dari Aceh ini menyebar kawasan pantai timur Sumut. Sebab itu umat Islam yang bermukim di pinggiran pantai timur seperti Medan, Asahan hingga Labuhan Batu merupakan buah penyebaran dari Aceh ini.

“Polanya juga mudah dilihat sebab penyebaran Islam dari Aceh dalam bentuk tasawuf atau tharekat. Lebih banyak menekankan pada pada amaliyah ubudiyah. Sebab itu kita lihat di sini hampir tidak ada masalah atau ketegangan hubungan antara Islam dengan agama lokal. Karena kalau kita bicara tasawuf atau tharekat itu adalah pendekatan esoteris,” kata Ridwan.

Dikatakan Ridwan lagi, pendekatan tasawuf atau tharekat itu lebih diutamakan pada pendalaman makna. Tidak mempersoalkan simbol-simbol sosial. Sepanjang makna sudah masuk, tidak ada persoalan.

“Karena itu pola Islam seperti ini lebih mudah masuk dan bertahan lebih lama. Tidak menciptakan ketegangan. Seperti tepung tawar, orang tepung tawar biasa saja. Sebelum Islam tepung tawar, setelah Islam tepung tawar juga. Biasa saja. Persoalannya bukan pada bentuk tepung tawar, tetapi makna di balik tepung tawar kalau makna ini sudah seusai peraturan silahkan saja,” tukas Ridwan yang juga Ketua Forum Komunikasi Pemuka Antaragama (FKPA) Sumut.

Lepas dari tiga pola tersebut, saat ini penganut Islam merupakan mayoritas di Sumut. Data dari Kantor Wilayah Departemen Agama Sumut menyebutkan dari 11.814.233 penduduk Sumut (berbeda dengan data Biro Pusat Statistik Sumut yang menyatakan penduduk Sumut berjumlah 11.890.399 jiwa) sebanyak 7.506.103 orang memeluk Islam. Hal itu juga berpengaruh pada banyaknya jumlah rumah ibadah.

Jadi kendatipun tiga gelombang pengislaman tetap tidak berjalan di Tanah Batak, namun toh kini Islam terus berkembang dan menjadi mayoritas di Sumut.

Namun seorang penda’i keturunan China/Tionghoa di Medan, Ibrahim Musa Daud Isa Muhammad Alwy (Chou Chin Wie) menyatakan, perkembangan belakangan ini di Sumut, sebagian masyarakat keturunan China yang beragam Islam, sudah mulai mengalami pemurtadan.

“Tidak diketahui alasan pastinya. Kemungkinan masalah politis. Mungkin dahulu sebelum masa reformasi, lebih aman jika beragama Islam. Namun kini, memakai agama keturunan yang lama juga tidak masalah. Tetapi entahlah, saya tidak begitu bisa menjelaskannya,” kata Ibrahim sambil menyatakan paling hanya sekitar seribu orang saja etnis China yang memeluk Islam di Sumut dari sekitar 1.670.000 yang terdata. Jumlah itu kemungkinan akan terus berkurang karena alasan reformasi tadi.


Gelombang Terakhir
-----------------------

Syawal 1233 Hijriah atau sekitar tahun 1816 Masehi. Tak kurang dari lima ribu orang pasukan berkuda Tentera Paderi masuk ke Mandailing, yang merupakan daerah perbatasan Sumatera Utara (Sumut) dengan dengan Sumatera Barat sekarang. Seperti semua penunggang kuda, Tuanku Rao yang bernama Fakih Muhammad, pemimpin pasukan ini mengenakan jubah putih dengan serban di kepala, khas Tuanku Imam Bonjol.


Mereka masuk melalui Muara Sipongi dan menaklukkan Penyambungan dan terus bergerak ke utara. Misi utama penyerangan itu untuk mendirikan Islam yang kaffah, yang sesuai dengan Al Quran dan Hadist sesuai dengan paham Islam Wahhabi yang dianut Paderi. (lihat Andil Paderi di Tanah Batak)

Tidak begitu sulit proses penegakan syariat Islam ini karena ternyata sebagian orang Mandailing dan Angkola (sekarang Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidempuan di Sumut) ternyata sudah ada yang memeluk Islam.

Usai menaklukkan Mandailing, pasukan dengan pedang di pinggang ini, bergerak lebih ke utara. Rencananya mereka akan menaklukkan tanah Batak yang pada saat itu masih menganut animisme dan dinamisme.
Di Sipirok, kini salah satu kecamatan di Tapanuli Selatan, mereka berhenti untuk menyusun strategi dan menambah kekuatan pasukan. Tuanku Rao lalu merekrut ribuan penduduk setempat yang sudah diislamkan/telah masuk islam dalam pasukannya. Pasar Sipirok yang sekarang dahulunya merupakan tempat latihan infrantri dan kavaleri, pasukan berkuda.


Setelah jumlah pasukan dirasa cukup dan strategi telah matang, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke pusat kerajaan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja X yang bernama Ompu Tuan Nabolon.

Pasukan Paderi bergerak melewati Silantom, Pangaribuan, Silindung dan terus ke Butar dan Humbang yang merupakan daerah pusat kekuasaan Sisingamangaraja X. Di Desa Butar pasukan Paderi bertemu dengan pasukan Sisingamangaraja X. Naas, dalam pertempuran itu, Sisingamangaraja X tewas dengan leher terputus.

Menurut Ompu Buntilan alias Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak, Sisingamangaraja X yang lahir pada tahun 1785, meninggal dunia pada tahun 1819 dalam usia 34 tahun. Waktu dia baru berkuasa sebagai raja selama empat tahun saja.

Satu hal yang pasti, penyerangan itu memakan banyak korban. WA Braasem dalam bukunya Proza en Poëzie om her Heilige Meer der Bataks menulis, “Pada permulaan abad yang lalu maka oleh apa yang dinamakan Penyerbuan Paderi (mazhab Islam ortodoks yang datang dari Minangkabau untuk menyebarkan Islam dengan api dan ujung pedang) ke pusat Tano Batak yang menurut tafsiran Junghuhn lebih dari 200 ribu orang yang mati terbunuh, di mana rakyat toh tidak menjadi Islam.”

Kesan agak berlebihan tentang serangan itu tertulis dalam Sedjarah HKBP yang ditulis Dr J Sihombing. Disebutkan, pasukan Tuanku Rao membakar rumah-rumah penduduk, ternak dipotong, barang-barang berharga dirampas. Rakyat berlarian, bersembunyi di hutan-hutan dan dalam gua-gua. Mulut anak kecil disumpal dengan kain, agar tidak terdengar suara atau tangisannya.

Perlawanan memang dilakukan rakyat Batak, tetapi Paderi sangat kuat. Mereka pun kalah. Penyerangan itu mengakibatkan tanah Batak banjir darah dan mayat. Perang ini juga mengakibatkan rakyat Batak miskin luar biasa. Lalu muncul dampak baru, penyakit kolera yang bersumber dari gelimpangan mayat-mayat. Belum ada obat penyembuh. Setiap orang yang terjangkit, paling lama dalam dua atau tiga hari dan akhirnya meninggal dunia.

Wabah kolera itu turut menjadi alasan keluarnya Paderi dari Batak. Mereka kembali ke Minangkabau untuk menghadapi Belanda yang semakin menancapkan kukunya. Dalam sebuah pertempuran di Air Bangis, Kab. Pasaman, Sumatera Barat, pada Januari 1833, Tuanku Rao akhirnya meninggal dunia. Mayatnya tidak ditemukan, kemungkinan dicampakkan Belanda ke tengah laut.

Usai Tuanku Rao memimpin pasukan ke Batak, datang lagi satu pasukan Paderi lainnya ke Mandailing, dipimpin Tuanku Tambusai. (lihat Rao dan Tambusai Jadi Rebutan)

Berbeda juga dengan Tuanku Rao yang masuk ke Mandailing melalui Muara Sipongi, maka pasukan masuk melalui Sibuhuan, Padang Lawas, Padang Bolak, walau akhirnya juga ke Sipirok. Di sini pula dibangun cikal-bakal mesjid pertama di Sipirok secara sederhana. Mesjid bernama Raya Sori Alam Dunia Sipirok Mashalih yang pemugarannya dalam ujud yang sekarang dibangun sejak 16 Juli 1926 itu secara resmi dimasuki pada 16 Juli 1933 dan masih dipergunakan hingga sekarang.

Kendati sama-sama berasal dari Paderi, namun dalam pengislaman pola Tuanku Tambusai sudah lebih lembut dibanding Tuanku Rao. Namun yang pasti kedua misi pengislaman tersebut pada akhirnya menjadikan Mandailing masa kini, yakni Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidempuan sebagai daerah dengan persentase pemeluk Islam terbesar di Sumut.

Serangan Paderi di bawah pimpinan kedua tokoh tersebut, merupakan gelombang terakhir dari tiga gelombang masuknya Islam ke Sumut. Yang unik, dari tiga gelombang masuknya Islam itu, tidak satupun berhasil membuat Islam tersebar di Tanah Batak, wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dan Toba Samosir sekarang.

“Seolah ada rantai yang terputus dalam proses penyebaran Islam di Tanah Batak,” kata Profesor HM Ridwan Lubis, Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut.

Menurut Ridwan kegagalan proses pengislaman di Tanah Batak karena polanya salah. Apalagi tentara Paderi meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Batak. Dalam sejumlah catatan cendikiawan Batak, serangan Paderi merupakan kepedihan pertama yang dialami masyarakat Batak. Sedangkan kepedihan kedua diakibatkan perang melawan penjajahan Belanda tahun 1877.

“Saya melihat kegagalan itu karena Wahhabi membawa corak Islam puritan gerakan kepada pemurnian. Kedatangan Islam ke sana bukan dalam wacara tasawuf, tetapi dalam wacana fiqh. Mereka membawa tema perubahan simbol,” tukas Ridwan.

Pola ini, kata Ridwan, tentu akan menghadapi perlawanan, berkontroversi dengan budaya lokal. Wacana Wahhabi itu cocoknya untuk mereka yang baru masuk Islam, makanya berjalan di Mandailing.

“Jika pakai tasawuf mestinya Tapanuli akan Islam juga,” tukas Ridwan.


Kesulitan Penentuan
-------------------------

Menurut Ridwan, sebenarnya agak sulit menentukan tentang bagaimana proses masuknya Islam ke Sumut. Dibutuhkan studi lebih mendalam, terutama tentang peninggalan-peninggalan sejarah, sehingga akan diperoleh gambaran lebih jelas tentang proses masuknya Islam tersebut.

“Ada tiga teori menentukan bagaimana Islam masuk. Pertama bagaimana Islam datang, paling tidak ada satu dua orang yang sudah Islam. Kedua bagaimana Islam berkembang, artinya Islam sudah membentuk komunitas suatu masyarakat. Biasanya jika ini jadi patokan, maka kita melihat adanya peninggalan komunitas seperti adanya mesjid dan mushola. Ketiga, ketika Islam sebagai kekuatan politik, Islam sebagai sebuah kerajaan,” kata Ridwan.

Agak sulit, kata Ridwan, menentukan waktu masuk sebenarnya. Pasalnya Islam datang ke Sumut bukan dalam bentuk ekspedisi khusus. Jadi kehadiran Islam karena kedatangan, aktivitas, kreativitas dan gagasan pribadi.

“Ini bukan hanya di Sumut, tetapi di Indonesia atau Asia Tenggara. Karena Islam datang dalam bentuk dakwah, bukan ekspansi. Makanya sulit menentukan,” kata Ridwan.

BATAK ANGKOLA


Drs H Syamsul Bahri Ritonga MSi Glr Sutan Humala Muda
Ini tidak terkait dengan pemekaran-pemekaran. Sampai sekarang, termasuk di Sumatera Utara masih banyak orang yang belum mengetahui apa itu Angkola dan bagaimana pula hubungannya dengan daerah atau etnik lainnya. Meskipun sebenarnya tidak sedikit yang telah memahami bahwa Sumatera Utara didiami oleh penduduk dari berbagai suku/etnik asli dan pendatang, apakah dalam jumlah besar atau dalam jumlah yang masih sedikit. Dalam sejarah Tapanuli Selatan, dijelaskan bahwa Angkola mengandung dua kandungan arti penting, Angkola bisa diartikan sebagai suatu wilayah, teritori atau daerah, sedangkan makna yang lain Angkola adalah sebuah etnik yang berdiri sendiri dan asli di Sumatera Utara ini.
Sejarah mencatat bahwa sebelum Indonesia merdeka, Wilayah Pemerintahan di Tapanuli Selatan dahulunya bernama Afdeling dipimpin oleh sorang Residen dengan pusat Pemerintahan di Padangsidimpuan, membawahi 3 Onder Afdeling dan masing-masing dipimpin oleh Controlleur, seterusnya membawahi Onder Distrik yang dipimpin oleh Asisten Demang. Onder Afdeling di bawah Afdeling, antara lain Angkola dan Sipirok berpusat di Padangsidimpuan, Onder Afdeling Padang Lawas di Sibuhuan, dan Onder Afdeling Mandailing di Kota Nopan. Selanjutnya Onder Afdeling yang membawahi Onder Distrik. Angkola, membawahi 3 Distrik masing-masing Angkola dengan pusat Padangsidimpuan, Batang Toru di Batang Toru, dan Distrik Sipirok di Sipirok. Onder Distrik ini membawahi pula Luhat/Kuria yang dipimpin oleh Kepala Kuria. Sebelum kemerdekaan, ketiga Onder Afdeling yang ada sama kedudukannya dengan kabupaten yang dipimpin oleh Bupati, namun setelah pemulihan kekuasaan tahun 1949, seluruhnya digabung menjadi satu kabupaten dengan pusat pemerintahan di Padangsidimpuan. Dalam pemerintahan sekarang, Onder Afdeling Angkola yang sebelumnya terdiri dari tiga Onder Distrik dan beberapa Kekuriaan telah berkembang menjadi beberapa kecamatan. Seperti Kuria Sipirok telah dipecah/dimekarkan menjadi beberapa kecamatan, antara lain Sipirok, Arse (pemekaran dari Sipirok), Padangsidimpuan Timur, Saipar Dolok Hole, dan Aek Bilah (pemekaran dari Saipar Dolok Hole), Batang Angkola, Sayur Matinggi, Sigalangan hingga ke Batang Toru dengan beberapa pemekarannya, sampai Dolok/Sipiongot. Angkola sebagai Etnik Jauh sebelum penjajah Belanda menjejakkan kaki di bumi persada ini, telah ada penduduk yang mendiami Wilayah Angkola, yang diperkirakan 9000 tahun sebelum masehi, itulah yang dinamakan Etnik Angkola (asli Angkola, bukan pecahan atau yang memisahkan diri dari etnik lain).
Terbukti dengan adanya kerajaan-kerajaan disekitar Sabungan/Padangsidimpuan, Batunadua, Sipirok/Parau Sorat, Siala Gundi, Muara Tais, Batang Toru sekitarnya, Batarawisnu, Mandalasena dan lain-lain. Etnik Angkola memiliki ciri tersendiri, seperti : -Falsafah dasar "Dalihan Na Tolu", sebagai tatanan/pandangan hidup sampai saat ini tetap dipedomani, -Adat Istiadat Budaya, -Pakaian Adat dengan Tenunan sendiri, -Bahasa dengan Aksara. Bahasa yang kaya dengan tingkatan penggunaannya Biasa, Andung, Bura atau yang lainnya dapat diperdalam melalui Impola Ni Hata.
Sedangkan Aksara Angkola yang jika dibaca menurut ejaan Latin adalah A, HA, MA, NA, RA, TA, I, JA, PA, U, WA, SA, DA,BA, LA, NGA, KA, CA, NYA, GA, YA ( Konsonan Ina ni Surat). Dilengkapi dengan simbol yang menandakan perubahan bunyi Vokal E, I, O, dan U serta Simbol Pembatas disebut Pangolat menandakan huruf mati, misalnya NGA menjadi NG, dll. Bentuk huruf/abjadnya jelas ada tersendiri lain dari aksara etnik lainnya. -Mempunyai Kesenian dan Alatnya serta Ornamen khas. -Dalam pergaulan sehari-hari mempunyai tidak kurang dari 135 jenis Tutur/Sapaan. -dan lain-lain ciri khas kebudayaannya yang telah dianut secara turun temurun. Bahasa dan Aksara Angkola dahulu dipergunakan menjadi salah satu mata pelajaran di SD dan SMP/sederajat diseluruh Tapanuli Selatan, baik pelajaran Tata Bahasa (Impola Ni Hata), Bahan Bacaan (Turi-turian), dan lain-lain yang dipergunakan adalah versi Angkola. Dari segi garis keturunan yang menerapkan sistem Patrilineal, masyarakat Angkola ditandai dengan Marga/Clan yang dominan seperti Harahap, Siregar, Pane dengan rumpun marganya, seluruhnya mendiami ketiga onder distrik tersebut. Dilihat dari segi Falsafah Dalihan Na Tolu, hubungan kekeluargaan Etnik Angkola dibagi kepada: 1. Mora, yaitu pihak keluarga pemberi boru. Mora ini mendapat posisi didahulukan, karena pihak Mora dalam hubungan kekeluargaan memiliki posisi yang sangat dihormati, di samping raja-raja maupun Pemangku Adat; 2. Kahanggi, yaitu keluarga yang mempunyai hajatan atau Horja adat, termasuk di dalamnya Suhut selaku Tuan Rumah; 3. Anak Boru, yaitu pihak keluarga pemberian Boru (pangalehenan Boru). Di dalam pelaksanaan sesuatu pekerjaan adat, masing-masing unsur Dalihan Na Tolu tersebut masih mempunyai teman kelompok (sajuguan) seperti Mora dengan Mora ni Mora (biasa juga disebut Hula Dongan, Kahanggi/Suhut dengan Pareban (saudara/keluarga sepengambilan), dan Anak Boru bersama dengan Anak Borunya yaitu Pisang Raut yang sering juga disebut Piso Pangarit. Tidak Dikenal Banyak orang yang cukup mengenal kata Angkola, mengenal Sipirok, tetapi lebih banyak yang tidak mengenal Etnis Angkola. Hal ini antara lain disebabkan karena:
1. Kurangnya sosialisasi tentang Angkola, sebab terbatasnya penutur sejarah budaya Angkola.
2. Kurangnya minat generasi muda mempelajari sejarah asal-muasal.
3. Kurangnya kecintaan terhadap adat istiadat dan budaya. Tidaklah diragukan jika pada umumnya orang Tapanuli Selatan seluruhnya (etnik aslinya) dianggap orang Mandailing, padahal orang Mandailing sendiri tidak pernah menganggap atau menyamakan orang Angkola dengan orang Mandailing. Meskipun dalam adat istiadat budayanya ada persamaan, namun tetap ada perbedaan yang tak perlu dipertentangkan. Penutup Uraian ringkas di atas menggambarkan, bahwa Angkola jelas adalah merupakan sebuah Etnis Asli dan berdiri sendiri di Sumatera Utara, mempunyai adat istiadat dan budaya sendiri. Apabila masih ada yang meragukan tentang itu, boleh-boleh saja dan silakan untuk meneliti lebih mendalam. Namun bagi saudara-saudara yang berasal dari Angkola dengan marga seperti Harahap (selaku pendiri Padangsidimpuan = di Padang Na Dimpu) dengan saudaranya, juga marga Siregar dengan keturunannya, demikian pula marga Pane, Hutasuhut, Rambe dan lain-lain tidak perlu ragu akan keberadaan Angkola termasuk salah satu dari sekian banyak etnik yang ada di nusantara ini. Oleh karena itu, apabila kita berasal dari etnik Angkola, akuilah dan cintailah bahwa kita memang orang Angkola.
Penulis adalah PNS Pemprovsu Oleh Redaksi Web - Wednesday 23 January 2008 - 12:34:22
| Kirim kepada teman

Selasa, 24 Mei 2011

ORANG BATAK DI LIGA EROPA

Radja Nainggolan Jadi Incaran AC Milan

Foto: Radja Nainggolan

Milan. Radja Nainggolan menjadi pergunjingan di jagat sepak bola Italia berkat penampilan gemilangnya bersama Cagliari musim ini. Bahkan, pemain berusia 23 tahun tersebut diincar tim juara Seri A Liga Italia, AC Milan.

Radja meniti karier di Seri A Liga Italia seperti pemain lainnya. Ia bergabung dengan Cagliari musim panas lalu setelah membela Piacenza selama tiga musim. Permainan cemerlangnya musim ini membuat AC Milan, Inter Milan, dan Napoli, kepincut.

Radja lahir di Antwerp, Belgia, dari ayah asal Indonesia, Marianus Nainggolan, dan ibu asal Belgia, Lizy Bogaerts. Radja memiliki dua adik perempuan kembar dan tiga saudara tiri. Semua saudaranya tinggal bersama ayah mereka di Bali. Ayah dan ibu Radja berpisah ketika Radja masih berusia enam tahun.

Adik perempuan Radja ikut ayah mereka ke Indonesia. Sementara, Radja tinggal bersama ibunya. Bakat sepak bola Radja mulai terasah di Germinal Beerschot. “Sejak kecil saya suka main bola. Bahkan ketika berusia lima tahun, saya masuk sebuah tim di kota saya,” ujar Radja. “Pada usia 10 tahun, saya pindah ke Germinal Beerschot. Saya mengasah kemampuan saya di sana saat remaja. Akhirnya, ketika berusia 16 tahun, agen saya mengatakan kepada saya bahwa sebuah klub Italia tertarik dengan saya. Jadi, saya pindah ke Piacenza,” kata Radja.

“Itu merupakan mimpi yang menjadi kenyataan: bermain di Italia. Tetapi, awalnya itu tidak mudah karena umur saya baru 16 tahun. Saya tinggal di negeri asing sendiri. Namun, tekad bulat saya mampu mengatasi seluruh rintangan yang saya hadapi,” ujarnya.

Nainggolan mengaku terkejut dengan kemampuannya yang meningkat setelah naik kelas dari Seri B musim ini. “Antara Seri A dan B ada kesenjangan tajam dalam hal fisik dan taktik,” ujar Radja. “Sebuah kebanggaan tersendiri saya bisa dilatih Roberto Donadoni, pelatih dengan pengalaman segudang yang banyak mengajari saya,” katanya.

Mantan pelatih Cagliari Pierpaolo Bisoli mengaku sebagai penggemar Radja. Bisoli yakin Radja bisa tampil di panggung yang lebih besar. “Ia pemain besar,” ujar Bisoli. “Ia sangat kuat secara fisik dan teknik. Ia bisa bermain di tim-tim besar seperti Napoli.”

Radja sadar selentingan mengenai transfer berkeliaran di sekelilingnya. Namun, Radja berusaha tetap rendah hati. Pemain yang baru saja menikahi gadis lokal ini mengaku senang bisa mengembangkan kemampuan sepak bolanya di Cagliari di bawah Donadoni. “Saya senang di Cagliari dan saya yakin ini merupakan tempat ideal untuk tumbuh dan menjadi matang,” kata Radja.

Piacenza mengizinkan Radja pindah ke Cagliari dengan kesepakatan sama-sama memiliki Radja. Meski sempat menolak menjual Radja, Piacenza berpeluang menjual Radja yang namanya tengah berkibar. Apalagi, beberapa klub Seri A tertarik menggaet Radja.

Sosok Radja yang memiliki darah Indonesia dianggap bisa menjadi faktor pendulang pasar di kawasan Asia. Pasalnya, Seri A berebut pasar Asia dengan Liga Primer Inggris dan Liga Spanyol.

Profil Radja yang mulai dikenal di Indonesia juga dimanfaatkan dengan wawancara Radja untuk mempromosikan Seri A ke Asia. “Saya sebenarnya tidak lahir di Indonesia,” ujar Radja seraya tertawa. “Saya besar sebagai anak-anak di Antwerp. Tetapi, saya memang berencana pergi ke sana (Indonesia).”

“Saya mengikuti sepak bola Asia dan saya rasa mereka berubah dengan cepat terutama di Jepang dan Korea Selatan. Banyak pemain-pemain bagus,” katanya. “Mungkin secara fisik mereka mengalami masalah, tetapi kendala itu bisa diatasi dengan teknik dan kecepatan.”

Kini, Radja tercatat membela tim Belgia. Oleh karena itu, peluang untuk membela tim nasional Indonesia dianggap sudah tertutup. Tetapi, mencuatnya nama Radja menjadi jaminan ia bakal menjadi idola di Indonesia. Presiden Cagliari Massimo Cellino pun sadar mereka punya aset emas. “Saya berani bertaruh ia akan bermain untuk Real Madrid,” ujar Cellino. “Ia baru 23 tahun, tapi punya kualitas yang hebat. Tetap,i kami tidak akan menjualnya musim panas mendatang. Ia akan mengembangkan diri di sini dan akan menjadi lebih baik,” kata Cellino. (okz)

Okezone.com

Tapsel, Balai Desa Arse Butuh Perbaikan


ARSE - Kondisi balai desa di Kecamatan Arse, Kabupaten Tapanuli Selatan memprihatinkan. Lantainya hancur, pekarangan ditumbuhi rumput, tiang dan kuda-kuda bangunan banyak yang lapuk, dan sebagian besar dinding sudah tak ada di tempatnya. Melihat kondisi ini pemerintah diharapkan segera mengalokasikan dana agar fasilitas umum tersebut bisa difungsikan dan dimanfaatkan sebagai fasilitas umum kemasyarakatan di Kecamatan Arse.

Salah seorang aktivis LSM LIRa Kecamatan Arse, Amin Pane, menyebutkan, balai desa yang dibangun semi permanen dan berukuran sekitar 8 x 20 meter persegi di pinggir Jalan Provinsi Sipirok-Siagimbar km 12, tepatnya di simpang Gunung Manaon ini, hendaknya mendapat perhatian dari pemerintah.Sebab, balai desa cukup memiliki manfaat yang besar bagi warga Arse terutama yang membutuhkan sarana balai desa yang menampung banyak warga. “Sangat bagus jika gedung itu diperbaiki apalagi di wilayah Arse belum ada fasilias bangunan yang memadai untuk acara pertemuan yang menampung banyak peserta,” ucapnya.

Sementara itu, Camat Arse, Johanes SP, yang dihubungi METRO, Minggu (27/3), mengatakan, pada musyawarah rencana pembangunan (musrenbang) tahun 2011, sudah ada usulan untuk membangun tempat pertemuan. Namun belum ditetapkan di mana lokasinya. “Apakah di balai desa yang lama atau cari tempat yang baru di sekitar lingkungan kantor camat,” tandasnya. (ran) (metrosiantar.com)

Camat se-Tapsel dilantik jadi PPATS




P.SIDIMPUAN - Pemkab Tapanuli Selatan menjadi pemerintah daerah pertama dari 33 kabupaten/kota di Sumatera Utara yang seluruh camatnya dilantik menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS).

Hal ini diungkapkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tapsel Sudarsono bersama Bupati Tapsel, Syahrul M Pasaribu, usai melantik sekaligus mengambil sumpah 14 camat se-Tapsel ditambah 3 camat dari Kab. Padanglawas Utara menjadi PPATS.

Upacara pelantikan sekaligus pengambilan sumpah ini dilangsungkan di aula beringi, kantor Bupati Tapsel di Jalan Kenanga, Kota Padangsidimpuan, Senin (23/5). Turut hadir Plt Sekdakab Aswin Efendi Siregar, Kapolres Tapsel diwakili Kasat Reskrim AKP Lukmin Siregar, para pimpinan SKP dan pejabat BPN Tapsel.

“Pemkab Tapsel daerah pertama di Sumut yang seluruh camatnya dilantik menjadi PPATS. Atas nama seluruh masyarakat Tapsel, saya ucapkan terimakasih kepada Kepala Kanwil BPN di Medan M Setia Budi yang telah menerima dan merespon permohonan kami dalam waktu dua pekan,” ucap Syahrul.

Ditambahkan, sebelum ini Pemkab bersama BPN Tapsel berkoordinasi untuk mengusulkan pengangkatan sekaligus pelantikan tersebut. Ini sebagai tindaklanjut dari UU No.28 tahun 2010 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Kemudian Perda Pemkab Tapsel No.16 tahun 2010 tentang Pajak Daerah yang telah lolos seleksi Menteri Keuangan.

“Semua ini terwujud dalam waktu dua pecan. Jadi disini saya ingin menegaskan bahwa pengurusan berkas dan administrasi di BPN yang disebut-sebut selalau bertele-tele, ternyata tidak benar,” tegas Syahrul.

Kepala BPN Tapsel Sudarsono menyebut kata ‘Sementara’ pada jabatan baru yang diterima para camat ini bermaksud periodik. Yakni, para camat mengemban jabatan itu hanya selama yang bersangkutan menjabat sebagai camat.

“PPATS memiliki hak dan wewenang untuk menerbitkan akta tanah. Kemudian menganulir atau me-review kembali akta-akta tanah yang sudah pernah diterbitkan orang atau pejabat lain,” ujar Sudarsono.

Adapun para camat Pemkab Tapsel yang diangkat dan dilantik menjadi PPATS itu, Muhammad Syarif di Kecamatan Saipar Dolok Hole. Taufik Rahmadani Lubis di Sayurmatinggi, Agussalim di Angkola Sangkunur, Ongku Muda Atas di Angkola Barat, Zamhir di Angkola Selatan.

Darwin Dalimunthe di Kecamatan Angkola Timur, Abdul Saftar di Tano Tombangan Angkola, Achmad Raja Nasution di Batang Toru. Parlindingan Harahap di Sipirok, Haris Ritonga di Aek Bilah, Baginda Siregar di Marancar, Yohannes Di ARSE . Ahmad Ibrahim Lubis di Muara Batangtoru dan Ali Akbar Hutasuhut di Batang Angkola.

Kemudian tiga camat dari Kab. Paluta. Pangaribuan di Kecamatan Halongonan, Anas Basri Dongoran di Kecamatan Dolok dan Panjang Martua di Kecamatan Padang Bolak Julu.

Editor: PRAWIRA SETIABUDI
By WASPADA ONLINE

SIPIROK IBUKOTA TAPANULI SELATAN: NANGGE MARNIPIDA




Posting ini pernah dimuat oleh beberapa media dengan berbagai versi. ARSEKAMPUNGKU menganggap perlu ditayang dengan versi lain. Semoga bermanfaat

Lajang tua mendiang Guru NAHUM SITUMORANG pernah mengingatkan sesuatu yang amat menarik tentang Sipirok. Kala itu, melalui sebuah lagunya yang mendunia, ia tak cuma mengapresiasi beberapa tempat yang mestinya orang harus tahu, seperti Baringin, Parau Sorat, dolok na timbo (Gunung tinggi) Simago-mago, Sialagundi, Batuolang, Batuhorpak, dan lain-lain.

Kekencangan angin mamaspas (mendera) yang membuat bukan saja kekayaan hasil hutan seperti hotang (rotan) dan hulim (kulit manis), tetapi juga budaya margobak-gobak (membungkus diri dengan kain sarung) meski di siang bolong. Ia juga mengingatkan sisuan salak Boru Enggan (gadis bermarga Siregar yang telaten bertani salak), yang untuk mendapatkannya harus tahu markusip (media sosial remaja dalam menali kasih). Tetapi kita boleh heran terhadap Nahum Situmorang. Dimana kebun salak di Sipirok, bukankah cuma tanaman keras dan beberapa tumbuhan liar haromonting?

Digarisbawahinya watak calon sang mertua bermarga Siregar itu. Malo-malo ma ho mambuat roha ni tulang mi (Pandai-pandai saja mengambil hati calon mertuamu itu), kata Situmorang yang mungkin juga pernah patah hati di sini hingga sampai akhir hayatnya melajang. Tetapi meskipun begitu, putrinya si boru Enggan na jogi (jelita) belum tentu mau dipersunting. Si Boru Enggan itu memang terkenal punya pendirian, ya punya sikap dan pandangan yang biasanya amat rasional (selalu lebih rasional dari suaminya? ha ha).

Paling susah jika perasaan aestetika si boru Enggan ini sama tinggi-menjulangnya dengan pandangan politik, pandangan ekonomi dan pandangan keningratannya yang membuatnya semakin tak terdekati oleh pemuda manapun. Secara simplistis si boru Enggan na bekbek (garang) kata orang menggambarkan karakter unik itu.

Nahum Situmorang, sang pencipta lagu yang mendapat kesempatan “bertanding” membuat lagu Kebangsaan Indonesia itu, memang lahir di Sipirok, tahun 1908. Ia anak seorang guru bernama Kilian Situmorang. Karena itu ia dapat melukis dengan baik Sipirok, dari sudut pandangan seorang seniman.

Terlepas benar atau tidak, baru-baru ini kita bisa melihat data di internet yang menyebutkan salah seorang bermarga Siregar begitu penting kedudukannya dalam jaringan Alqaeda. Menantang bahaya, meneruskan iktikad, dan connect dengan Alqaeda? Ha ha, tak mudah membayangkan itu ya. Dia Siregar Sipirok. Jangan sekali-sekali ada yang ingin tak mengakuinya (sekali lagi, jika informasi itu benar). Dharma Indra Siregar, The Crown Prince from Sipirok Bagas Godang, memastikannya tanpa rasa penyesalan sedikitpun: Dia Siregar Sipirok, tegasnya.

Dapatkah seseorang di negeri ini melupakan bahwa Lafran Pane pendiri HMI itu berasal dari Sipirok? Terkait dengan nama besar Sutan Pangurabaan Pane, sebutlah juga Armiyn Pane dan Sanusi Pane. Bukan main, kata Prof.Dr.Agussalim Sitompul, guru besar Al-kalam dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang oleh kalangan aktivis HMI sering dijuluki pustaka berjalan. Saya anggap ada sesuatu yang sama sekali tak terkait dengan magis yang menjadi faktor pendorong munculnya tokoh-tokoh besar dari Sipirok, yang paling tidak kita harus memeriksa akar budaya dan pandangan hidup serta interaksinya dengan dunia luar, katanya.

**************

Sewaktu mahasiswa tahun 1970-an saya pernah bergabung dengan tim peneliti kerukunan umat beragama yang salah satu daerah samplenya ialah Bunga Bondar di sekitar Sipirok. Saya bertemu dengan seorang anak muda yang amat gagah, tampan dan tak bisa berbahasa apa pun selain bahasa Inggeris. Ia kelahiran London, sampai dewasa dan mendapat pendidikan tinggi di sana. Oleh kerinduan orangtuanya dan kecintaannya kepada sejarah nenek-moyangnya, anak muda ini pulang kampung. Kampung yang tak lain sebuah sudut terpencil di negara berkembang yang tak mengenakkan dalam pandangan peta dunia. Dia bermarga Siregar dari Sipirok.

Arifin Maskut Siregar (Arifin M Siregar), seorang mantan Gubernur Bank yang menandatangani uang resmi Indonesia (rupiah) pernah menggerutu: Di Eropa dan Amerika banyak sekali orang bermarga Siregar yang amat sukses. Jika kalian melihat saya orang sukses dan kaya, ternyata masih nomor urut terakhir bila dijejerkan berdasarkan kekayaan dengan mereka itu. Itu pengakuan Arifin Maskut Siregar, salah seorang ikon marga Siregar yang belakangan ini (ada yang) menyebut diri dengan cara “sipanggaron” (penuh kebanggaan berlebih) yakni dengan sebutan Siregar se-dunia.

Saya ingin menguji memori saya tentang sejarah dengan harapan dapat dikoreksi terutama oleh tokoh-tokoh besar dari Sipirok di mana pun mereka berada. Semua orang tentu masih ingat seorang bermarga Pane, yang pernah menjabat Ketua Bappeda Sumatera Utara. Masih ingatkah Mr Luat yang pernah menjadi residen Sumatera Timur? H Muda Siregar yang pernah menjadi Walikota Medan (kelima), Abdul Firman gelar Mangaraja So Angkupon yang menjadi anggota volksraad, Abdul Rasjid (Batavia Centrum), belum lagi dr Ildrem (Ibu Lain daerah) Raja Ela Mora yang tak mudah melupakannya jika berfikir tentang USU? Dr Gindo Gubernur Militer Sumatera Timur Selatan bermarkas di Padangsidempuan sekitar tahun 1947? Bankir Omar Abdalla, Ir alfred Mangaraja Onggang Parlindungan pembuat buku heboh yang menjadi semacam ”pegangan suci” bagi orang Batak Toba kontemporer? Hariman tokoh Malari 1974 yang “menginterupsi” Soeharto dalam singgasana Orde Baru-nya yang didukung habis oleh militer dan Amerika? Masih ada Raja Inal mantan Pangdam Siliwangi yang kemudian menjadi Gubsu, dan meninggal saat menjabat anggota DPD-RI? Jauh di atas yang disebut terakhir ini masih ada Tunggal Harun Parlindungan yang menjadi pejabat nomor satu dari kalangan pribumi di lingkungan perusahaan perkebunan milik Belanda di Sumatera Timur RCMA (Rubber Cultuur Maatschapijj Amsterdam). Masih banyak yang lain.

Itulah sekedar contoh bahwa Sipirok itu bisa amat tak identik dengan achievement berdasarkan faktor-faktor non prestasi tangguh, apalagi oleh faktor given. Tidak heran seorang anthropolog dari Barat yang lama meneliti di Sipirok akhirnya minta dinobatkan menjadi boru Regar. Dialah Susan Rogers (Siregar).

Mereka, para pemilik success story itu bukan pula tokoh-tokoh yang berlindung di balik solidaritas kesemargaan yang dangkal atau tokoh-tokoh yang sibuk membentuk panitia pemugaran tambak (tugu) dalam simbolisme yang amat ketinggalan zaman.

**************

“Poken Aek” (sebuah pasar kecil) di Sipirok adalah symbol kemiskinan structural. Begitu pendapat banyak orang. Kotanya dari tahun ke tahun tidak banyak berubah, bahkan setelah pun Raja Inal merangsang investasi besar-besaran dalam program yang ia sebua Martipature Hutana Be (Pasikap Kuta Kemulihenta).

Sambal Taruma (sejenis emping ubi) yang di Sidempuan disebut Karupuk sambal, kini sudah bermetomorfosis persis karupuak Sanjai made in Sumatera Barat. Nyaris tidak bias dibedakan lagi. Tor Sibohi yang digambarkan demikian tinggi oleh Nahum Situmorang, kini sudah berubah menjadi sebuah wilayah peristirahatan bagi pendatang yang secara ekonomi tampak begitu sulit berkembang.

Ada sebuah tuntutan kuat masyarakat Sipirok dalam kaitannya dengan pemekaran. Bagaimana agar Sipirok menjadi ibukota, bukan yang lain, seiring dengan pemakaran tahap ketiga (setelah Padangsidempuan dan Madina). Elit asal Sipirok kelihatannya berhasil memperjuangkan melalui UU Pemekaran daerah itu yang secara definitive menunjukkan ibukota Tapanuli Selatan itu Sipirok.

Tetapi Ongku Parmonangan Hasibuan, Bupati yang menghalang-halangi pemekaran itu, dan yang pada pemilukada kemaren sebagai incumbent dikalahkan oleh pasangan Syahrul M Pasaribu-Aldinz Rapolo Siregar, tidak sudi dengan perwujudan ibukota di Sipirok itu. Karenanya Aldinz Rapolo Siregar berkesimpulan bahwa Ongku Parmonangan Hasibuan hanya sibuk wacana, dan tak ingin segera bertindak. Maka berkelahilah mereka, dan beberapa bulan sebelum berakhirnya jabatan mereka, Aldinz Rapolo Siregar mengambil sikap membawa berkantor Wakil Bupati Tapanuli Selatan bersama dirinya ke Sipirok.

Hari ini Aldinz Rapolo Siregar juga sebagai Wakil Bupati untuk Bupati yang berbeda. Kelihatannya ia tidak konsisten, karena sikanya yang membawa kantor wakil bupati bersama dirinya ke Sipirok tidak tampak paling tidak setelah beberapa bulan pemerintahan mereka. Karena itu sejumlah aktivis merasa wajar mempertanyakan Aldinz Rapolo Siregar.

Hal yang teroenting untuk dicatat dalam kaitan pemekaran dan segala bentuk implikasinya termasuk penunjukan Sipirok sebagai Ibukota, adalah sesuatu yang terkait dengan keyakinan politik bahwa dengan perpendekan rentang kendali pemerintahan akan semakin mudah pelayanan mewujudkan kesejahteraan. Semua orang percaya paradigma ini.

Karena itulah orang Sipirok melakukan perjuangan, dan sebagian ada yang sudah membuahkan hasil awal. Orang Sipirok pasti lebih cepat setuju jika dikatakan bahwa inilah surat terakhir yang ditandatangani oleh almarhum Abdul Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara yang meninggal dalam tragedi demo maut protap tanggal 3 Februari 2009.

Surat itu bertanggal 29 Januari 2009, bernomor 377/18/Sekr, ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara dengan tembusan Bupati Tapanuli Selatan dan Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan. Bunyi selengkapnya:

Butir pertama, Dengan hormat, sehubungan dengan surat Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor: 04/FKMKTS-01/2009, tanggal 6 Januari 2009, perihal: Pelaksanaan UU No 37 Tahun 2007 pasal 21 ayat 1 dan 2.

Butir kedua, Dari hasil pertemuan DPRD Provinsi Sumatera Utara dengan Forum Konsultasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan, maka dengan ini diminta kepada Saudara Gubernur Sumatera Utara untuk mendorong Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan agar dapat mentaati dan melaksanakan pemindahan Ibu Kota Tapanuli Selatan yang berkedudukan di Sipirok merupakan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tapanuli Selatan sesuai pasal 1 dan 2 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2007.

Apa respon Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin?

**************

Atas nama masyarakat Sipirok sebuah lembaga juga menyurati Gubernur Sumatera Utara untuk perjuangan mendirikan SIpirok menjadi Ibukota Tapanuli Selatan. Mereka melanjutkan “perjuangan” dengan meminta kewibawaan Gubernur Syamsul Arifin. Mereka bermodalkan surat yang ditandatangai oleh Ketua DPRD SUmatera Utara Abdul Aziz Angkat.

Atas desakan mereka, maka terbitlah surat Gubernur Sumatera Utara, bunyinya demikian:

Sehubungan dengan surat Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara Nomor 377/18/Sekr tanggal 29 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007, yang merupakan tindaklanjut surat Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan Nomor 04/FKMKTS/01/2009 tanggal 6 Januari 2009 perihal Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 pasal 21 ayat (1) dan (2), untuk itu diminta kepada Saudara hal-hal sebagai berikut:

Butir pertama, Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padang Lawas Utara di Provinsi Sumatera Utara dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Padanglawas di Provinsi Sumatera Utara, maka segala ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut mempunyai konsekuensi yang mengikat, baik bagi Pemerintah Kabupaten Padang Lawas Utara, Padang Lawas maupun Tapanuli Selatan.

Butir kedua, Sesuai pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2007 yang mengatur tentang ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan berkedudukan di Sipirok dan dilaksanakan paling lama 18 bulan, untuk itu diminta kepada Saudara segera melaksanakan ketentuan dimaksud.

Butir ketiga, Melaporkan setiap perkembangan dan kemajuan penanganan perpindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Sipirok kepada Gubernur Sumatera Utara.

Surat bertanggal 18 Februari 2009, bernomor 130/1157 itu ditujukan kepada Bupati Tapanuli Selatan. Dibubuhi tandatangan Gubernur Sumatera Utara H.Syamsul Arifin, SE dan cap jabatan, diberikan juga tembusan kepada Menteri Dalam Negeri di Jakarta, Ketua DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan di Padangsidempuan, dan Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan di Medan.

Tanggal 6 Januari 2009 Forum Komunikasi Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan melayangkan surat, tanggal 29 Januari direspon oleh Ketua DPRD Sumatera Utara, dan tanggal 18 Februari 2009 Gubernur Sumatera Utara memberi respon.

Apa respon Bupati Ongku P Hasibuan?

**************

Tidak begitu jelas sikap Bupati Ongku Parmonangan Hasibuan. Apakah karena surat Ketua DPRD Sumatera Utara dan Gubernur Sumatera Utara itu bersifat amat normatif hingga memang harus diabaikan saja oleh Bupati Tapanuli Selatan Ongku P Hasibuan? Tidak ada yang tahu, yang jelas Wakil Bupati Aldinz Rapolo Siregar sudah kadung bertindak: pindah kantor ke Sipirok untuk memenuhi kemauan Undang-Undang.

Dengan ketidak-jelasan sikap Bupati, dan ditambah dengan pecah-kongsinya pemerintahan Tapanuli Selatan, maka masyarakat pendukung Sipirok Ibukota Tapanuli Selatan semakin memanas.

Telaahlah barang sekilas saja. Surat ini bukan “pandelean” (frustrasi) apalagi agitasi. Tak harus diterjemahkan lain kecuali Ajuan Aspirasi yang mustahak.

Kami masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di Bonapasogit dengan ini menyatakan sikap sebagai berikut (1) Saudara Bupati Tapanuli Selatan untuk segera melaksanakan pemindahan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan ke Kota Sipirok sesuai dengan UU No 37 Tahun 2007 selambat-lambatnya tanggal 10 Pebruari 2009; (2). Apabila saudara Bupati tidak melaksanakan, maka masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ini menyatakan (a) Bahwa Bupati Tapanuli Selatan Ir H Ongku Parmonangan Hasibuan tidak mampu melaksanakan amanat UU no 37 Tahun 2007, khususnya pasal 21 dan untuk itu kami mencabut dukungan terhadap Saudara Bupati Tapanuli Selatan (b) Bahwa kami masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan akan bertindak segera memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Sipirok sesuai UU No 37 Tahun 2007.

Pernyataan itu dibuat tanggan 27 Desember 2008 yang ditandatangani oleh wakil-wakil masyarakat di semua Kecamatan yakni Siddik Suherman, Hamdani Siregar, Syahrum Pohan, Abdul Muis Pasaribu, Asmara Darma, Bayasid Siregar, Pardomuan, Sarpin, James Siregar, Bahrum, H.A.Syamsir dan lain-lain.

Menjelang pemilukada tensi politik pun semakin menghangat. Isyu Ibukota Tapanuli Selatan dijadikan sebagai pokok resistensi kepada Ongku dan dengan perpaduan Aldinz Rapolo Siregar dan Syahrul M Pasaribu, pemilukada Tapanuli Selatan sudah kita ketahui hasilnya. Pasangan pemenangn Syahrul M Pasaribu dan Aldinz Rapolo Siregar pun dilantik. Mereka akan berhadapan juga dengan resisntensi yang sama jika tak sungguh-sungguh soal ibukota Sipirok.

**************

Di tengah kehangatan politik soal ibukota Tapanuli Selatan, Dharma Indra Siregar yang menyatakan diri sebagai Algemene Vertegenwoordiger Erfgenaam van Dja Baoen Siripok Bagas Rijk (Pewaris Bagas Godang Kerajaan Sipirok), mencoba menyatukan dengan membangkitkan sejarah lama. Ia mulai dengan eksistensi bagas godang (istana) kerajaan Sipirok.

Merasa prihatin dengan kondisi warisan Bagasgodang di Sipirok yang sudah lama kurang terurus, Dharma Indra Siregar memberanikan diri tampil menjadi kuasa dari para ahli waris untuk mengupayakan pemuliaan warisan ini. Mula-mula ia dapatkan kesepakatan bulat dari mereka yang berwenang secara hukum maupun kekerabatan: Tuongku Rahmat Panutur Siregar (75 tahun); Rasyid Soaduon Siregar, BA (74 tahun)dan Drs.Ahmad Raja Thamrin Siregar (58 tahun).

Tindakan awal ialah melakukan lobby ke mana-mana. Salah satu lobby yang giat dilancarkan ialah mendapatkan 3 milyar dari APBD Sumatera Utara untuk rehabilitasi Bagas Godang Sipirok. Usulan sudah masuk ke Gubernur Smatera Utara, dan sampai Syamsul Arifin ditahan tidak ada khabar baiknya.

Dharma Indra Siregar yang juga tokoh Angkatan 66 Sumatera Utara ini merasa usulannya sebuah keniscayaan saja. Mengapa tidak? Ini negara negara kita, bangsa bangsa kita. Apa yang salah ketika para pewaris seolah tak berkemauan mengapresiasi warisan leluhur? tanya tokoh intelektual yang bertype self study ini bersemangat.

Hal-hal yang perlu menjadi agenda mendesak Dharma Indra Siregar tentulah meyakinkan Gubernur Sumatera Utara dan DPRD Sumatera Utara. Sulitkah itu? Dharma Indra Siregar yang biasanya kaya improvisasi ini tentu akan melakukan segala kemampuan diplomasinya untuk ini. Aha dope dongan (what do you waiting for), kata Dharma Indra Siregar.

**************

M Abduh Pane, mantan Ketua Bappeda Sumatera Utara termasuk di antara orang penting Sipirok yang ikut angkat bicara tentang ibukota Taoanuli Selatan. Baginya perjuangan membangun kampong bukannya setback menjadi orang udik apalagi sectarian. Moderat yang beristerikan seorang Australia ini biasa ke Eropa, ke Amerika dan manca Negara terbawa oleh keahliannya.

Ia mengingatkan bahwa 18 (delapan belas) bulan terhitung sejak diundangkannya pemekaran tanggal 23 Nopember 2007, secara definitive pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten seharusnya sudah berada di Sipirok.

Menurutnya, semula luas kota Sipirok yang diperuntukkan bagi Ibukota Kabupaten itu seluas 831 ha meliputi 19 desa/kelurahan. Untuk menampung hasrat pembangunan sebagai ibukota itu perluasan potensil dilakukan menjadi 9.355 ha meliputi 35 desa/kelurahan dengan penduduk berjumlah 6.832 Keluarga.

Namun menurut RUTR ibukota Sipirok itu menjadi kurang lebih 9 km radius dari titik nol kota Sipirok. Pada radius 3-6 km berfungsi sebagvai kawasan pengembangan dan pada radius 6-9 km berfungsi sebagai kawasan penyangga. Akhirnya rencana ini mengharuskan perluasan menjadi 23.826 ha yang mencakup 2 Kecamatan (Sipirok dan ARSE) yang terdiri dari 67 desa/kelurahan.

Berdasarkan telaahannya, dalam RUTR yang disiapkan oleh Bappeda Tapanuli Selatan belum terlihat rincian yang diperlukan berupa struktur kota seperti pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pendidikan, kawasan usaha, kawasan industri, yang kesemuanya itu kawasan built environment dan natural environment yang terdiri dari hutan, kebun, sawah, green area yang harus link and match secara simbang dan serasi.

Sesulit apa rencana ini bagi Syahrul M Pasaribu dan Aldinz Rapolo siregar? Alasan klasik tentulah soal dana. Memang ada yang akan menyumbangkan uang trilyunan untuk itu? Dari mana? Itulah maka Tapanuli selatan memilih pemimpin, tak lain agar pemimpin ini mampu mewujudkan mimpi Tapanuli Selatan.

Biarlah pemerintahan Ongku Parmonangan Hasibuan-Aldinz Rapolo siregar meninggalkan defisit milyaran. Rakyat hanya mau peningkatan kesejahteraan. Believe it or not.BELIEVE IT or NOT

ARSE KAMPUNGKU

ARSE KAMPUNGKU

Entri Populer

MOTTO

"jangan terlalu banyak bermimpi,sekarang saatnya aksi nyata"